Ditulis sebagai tugas Pembangunan Wilayah
1.
Pembangunan
Wilayah dengan sistem Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya
memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Inilah
dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa
Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan
pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu
tidak mengabaikan yang lain.
Tujuan dibuatnya undang-undang ini
adalah untuk membentuk sistem pertanahan Indonesia yang merupakan negara baru saat
itu. Dalam pasal 2 undang-undang ini dijelaskan bahwa negara memegang penuh
kekuasaan atas tanah untuk keperluan hajat hidup orang banyak. Wewenang negara
tersebut mencakup:
- Mengatur dan menyelenggarakan
peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang
angkasa tersebut;
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan
hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
- Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform
yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket
peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan
untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan
keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya
sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap
yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah
produksi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang
redistribusi tanah pertanian.
UUPA sebagai induk dari
program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat
berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17. Untuk mencegah hak-hak
perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7 yang
berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan
tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut
berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan
bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya
wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh Sudargo Gautama (1980:23)
dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak menghalangi terwujudnya tuan-tuan
tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil tanah-tanah yang
diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah perintah/kuasanya.
Untuk
menjamin agar tanah dimanfaatkan bagi sebesar- besar kemakmuran rakyat secara
berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia diperlukan pembagian
wewenang yang tegas terinci, efektif dan efisien. Dengan mempertimbangkan
aspek- aspek normatif ketatanegaraan, hukum, teknis (penatagunaan tanah, penguasaan
dan pemilikan tanah, sengketa pertanahan, pendaftaran tanah, hukum ekonomi,
prasarana dan sarana manajemen pertanahan, wewenang tersebut dibagikan di
antara dan diberikan kepada BPN Pusat, Kantor Wilayah BPN Propinsi, Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Berkaitan dengan penyelenggaraan penatagunaan tanah,
UUPA mengarahkan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah yang berlaku setelah
mendapat pengesahan yang mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah
Tingkat II dari Gubernur yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari
Bupati/Walikota yang bersangkutan, Pemerintah Daerah membuat suatu rencana umum
mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA (Bumi, Air dan Ruang
Angkasa) untuk:
a.
keperluan Negara;
b.
keperluan peribadatan dan
keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.
keperluan pusat-pusat kehidupan
masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d.
keperluan memperkembangkan produksi
pertanian, peternakan dan perikanan serta kegiatan lainnya yang sejalan dengan
itu;
e. keperluan memperkembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan
UUPA menetapkan bahwa penatagunaan
tanah merupakan kewajiban untuk memenuhi secara seimbang kebutuhan masyarakat
atas tanah yang titik berat pelaksanaannya merupakan tanggung jawab Pemerintah
Kabupaten/Kota, dan penatagunaan tanah dapat diartikan sebagai pemanfaatan
tanah secara seimbang dengan menghormati hak-hak atas tanah yang berfungsi
sosial sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.
UU Agraria untuk Tanah Perkotaan
UU Pokok
Agraria No.5/1960 yang diterbitkan hampir lima
puluh tahun yang lalu dan menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia , sesungguhnya lebih
ditujukan untuk mengelola tanah pertanian. Sebagai undang-undang yang sudah
tua, dapat dimengerti apabila meski telah terbit ratusan peraturan pelaksanaan
yang berinduk pada UU Pokok Agraria ini, tetap saja hal itu belum dapat menjadi
piranti hukum yang efektif untuk mengelola tanah perkotaan. Tanah perkotaan dan
permukiman pada umumnya belum mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga
tanah menjadi komoditi dan penggunaannya begitu dinamis tidak secara ekspisit
diatur dalam undang-undang.
Asas tata
guna tanah untuk daerah perkotaan (urban
land use planning)
1.
Aman,
Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir,
bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
2.
Tertib
Maksudnya tertib dalam bidang
pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam
hukum.
3.
Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan,
lancar berlalu lintas, dan lancar dalam komunikasi.
4.
Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.
Selain itu,
dalam mengelola tanah perkotaan, Hak Guna Bangunan (HGB) dianggap sebagai dasar
untuk mengelola tanah perkotaan, realitanya banyak yang dialihkan menjadi hak
milik. Kebijakan lokal biasanya tidak cukup kuat untuk menahan status hak ini
sehingga ada kecenderungan perubahan hak guna bangunan menjadi hak milik tidak
terbendung. Di satu sisi perkembangan hak milik ini dianggap sangat populis
karena memberi hak yang sangat kuat pada rakyat. Namun di sisi lain, hak milik
juga bisa menjadi sangat individualistis dan mengabaikan fungsi sosial tanah.
2.
Pembangunan
Wilayah dengan Sistem Tata Ruang menurut UU N0 26 Tahun 2007
Penataan ruang hadir secara formal sejak tahun 1992
ketika diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan
Ruang. Produk penataan ruang adalah rencana dan pelaksanaan tata ruang, serta
pengendalian pelaksanaan tata ruang yang isinya meliputi penetapan kawasan
lindung dan budidaya, pemanfaatan kawasan budidaya oleh sektor-sektor unggulan,
pusat- pusat permukiman perkotaan dan perdesaan, sistem jaringan transportasi,
sistem prasarana lainnya (non-transportasi), dan program sektor prioritas,
serta program kawasan strategis.
Lahirnya
UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana
tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang
diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan
ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik
melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga)
kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP),
dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana
tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan
sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di
wilayah Indonesia.
Undang-undang
Penataan Ruang menetapkan tiga tingkatan rencana tata ruang yaitu Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional ditetapkan berdasarkan Keppres diperbaharui setiap 15
tahun, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ditetapkan berdasarkan Peraturan
Daerah diperbaharui setiap 10 tahun, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 5
tahun. Tingkatan-tingkatan tersebut berlaku pula untuk Tataguna Tanah, tetapi
penyelenggaraanya berbeda yaitu dalam hal rencana tata ruang diotonomikan, sedangkan dalam hal
rencana Tataguna Tanah didekonsentrasikan.
Visi Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang adalah terwujudnya
ruang nusantara yang mengandung unsur-unsur penting dalam menunjang
kehidupan masyarakat, sebagai berikut:
- Keamanan:
masyarakat terlindungi dari berbagai ancaman dalam menjalankan
aktivitasnya;
- Kenyamanan:
kesempatan luas bagi masyarakat untuk dapat menjalankan fungsi dan
mengartikulasi nilai-nilai sosial budayanya dalam suasana tenang dan
damai;
- Produktivitas: proses
dan distribusinya dapat berlangsung efisien serta mampu menghasilkan nilai
tambah ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing;
- Berkelanjutan:
kualitas lingkungan dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang.
Untuk mendukung visi di atas, maka setiap wilayah harus
selalu memperhatikan aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti
ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 3 yaitu bahwa
penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan
Nusantara dengan terwujudnya:
- keharmonisan
antara lingkungan alami dan buatan;
- keterpaduan
dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan
memperhatikan sumber daya manusia; dan
- perlindungan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang.
Selain itu, juga terjadi berbagai
kendala dalam rangka pemanfaatan ruang yaitu seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam
rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah. Kebutuhan mendesak akan
ruang, baik yang disebabkan oleh pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah
menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini terkait erat
dengan rencana tata ruang yang tidak sesuai, dengan kebutuhan masyarakat dan
pemerintah dalam jangka menengah maupun panjang maupun tidak adanya sanksi
hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat
dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah yang baru dibentuk
sebagai akibat pemekaran daerah. Sebagai dampaknya, bentuk
pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi yang dapat mengganggu
lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya
merugikan bagi masyarakat.
PERBEDAAN:
- cakupan pertimbangan fisik
pemanfaatan tanah, penataan ruang lebih luas dari pada penatagunaan tanah,
dan hal ini sesuai ketetapan undang-undang penataan ruang yang menyatakan
bahwa penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan semacamnya merupakan
subsistem dari penataan ruang
- dalam hal pemanfaatan fisik tanah,
pada penataan ruang lebih menekankan pertimbangan aspek-aspek
Poleksosbudhankamnas, namun berbeda halnya pada penatagunaan tanah yang
lebih menekankan aspek-aspek legalitas dan kepemilikan hak atas tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Perwira
, Indra. Implikasi
Ketentuan Sanksi Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang. Jakarta. April 2008.
Prasety, Hadi. Implikasi dan Implementasi UU Nomor
26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur. Jakarta. April
2008.
0 komentar:
Posting Komentar