Kamis, 17 Juli 2014

Pembangunan Wilayah dengan Sistem UU Pokok Agraria Tahun 1960 dan 2007 (Persepsi)

Ditulis sebagai tugas Pembangunan Wilayah

1.   Pembangunan Wilayah dengan sistem Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) merupakan Undang-Undang yang pertama kalinya memperkenalkan konsep Hak Menguasai Negara. Perumusan pasal 33 dalam UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Inilah dasar konstitusional pembentukan dan perumusan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dua hal pokok dari pasal ini adalah sejak awal telah diterima bahwa Negara ikut campur untuk mengatur sumber daya alam sebagai alat produksi, dan pengaturan tersebut adalah dalam rangka untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penghubungan keduanya bersifat saling berkait sehingga penerapan yang satu tidak mengabaikan yang lain.

Tujuan dibuatnya undang-undang ini adalah untuk membentuk sistem pertanahan Indonesia yang merupakan negara baru saat itu. Dalam pasal 2 undang-undang ini dijelaskan bahwa negara memegang penuh kekuasaan atas tanah untuk keperluan hajat hidup orang banyak. Wewenang negara tersebut mencakup:
  1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
  2.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa,
  3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. 
UUPA sebenarnya tidak lepas dari konteks landreform yang menjadi agenda pokok pembentukan struktur agraria saat itu. Paket peraturan perundang-undangan landreform ini telah dimulai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang dikeluarkan untuk mengawasi adat tentang praktek bagi hasil. Ini bertujuan menegakkan keadilan dalam hubungan pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan tanahnya sendiri, dengan penggarap. Perlindungan ini terutama ditujukan kepada penggarap yang umumnya secara ekonomis lebih lemah sekaligus memacunya untuk menambah produksi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang redistribusi tanah pertanian.

UUPA sebagai induk dari program landreform di Indonesia maka beberapa pasal-pasal UUPA yang sangat berkaitan dengan landreform yaitu pasal 7, 10 dan 17. Untuk mencegah hak-hak perseorangan yang melampaui batas diatur secara tegas dalam pasal 7 yang berbunyi “untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Ketentuan dalam pasal tersebut berhubungan dengan pasal-pasal lainnya seperti dalam pasal 10 yang menentukan bahwa setiap orang yang mempunyai suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya wajib mengerjakan sendiri secara aktif. Oleh Sudargo Gautama (1980:23) dikatakan bahwa ketentuan pasal 10 ini hendak menghalangi terwujudnya tuan-tuan tanah yang tinggal di kota-kota besar, menunggu saja hasil tanah-tanah yang diolah dan digarap oleh orang yang berada di bawah perintah/kuasanya.
Untuk menjamin agar tanah dimanfaatkan bagi sebesar- besar kemakmuran rakyat secara berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia diperlukan pembagian wewenang yang tegas terinci, efektif dan efisien. Dengan mempertimbangkan aspek- aspek normatif ketatanegaraan, hukum, teknis (penatagunaan tanah, penguasaan dan pemilikan tanah, sengketa pertanahan, pendaftaran tanah, hukum ekonomi, prasarana dan sarana manajemen pertanahan, wewenang tersebut dibagikan di antara dan diberikan kepada BPN Pusat, Kantor Wilayah BPN Propinsi, Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. 
Berkaitan dengan penyelenggaraan penatagunaan tanah, UUPA mengarahkan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah yang berlaku setelah mendapat pengesahan yang mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II dari Gubernur yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari Bupati/Walikota yang bersangkutan, Pemerintah Daerah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA (Bumi, Air dan Ruang Angkasa) untuk:
a.                               keperluan Negara;
b.      keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c.       keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;
d.      keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta kegiatan lainnya yang sejalan dengan itu;
e.   keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan
                                
            UUPA menetapkan bahwa penatagunaan tanah merupakan kewajiban untuk memenuhi secara seimbang kebutuhan masyarakat atas tanah yang titik berat pelaksanaannya merupakan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota, dan penatagunaan tanah dapat diartikan sebagai pemanfaatan tanah secara seimbang dengan menghormati hak-hak atas tanah yang berfungsi sosial sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.

UU Agraria untuk Tanah Perkotaan
UU Pokok Agraria No.5/1960 yang diterbitkan hampir lima puluh tahun yang lalu dan menjadi dasar pengelolaan tanah di Indonesia, sesungguhnya lebih ditujukan untuk mengelola tanah pertanian. Sebagai undang-undang yang sudah tua, dapat dimengerti apabila meski telah terbit ratusan peraturan pelaksanaan yang berinduk pada UU Pokok Agraria ini, tetap saja hal itu belum dapat menjadi piranti hukum yang efektif untuk mengelola tanah perkotaan. Tanah perkotaan dan permukiman pada umumnya belum mendapatkan perhatian yang memadai, sehingga tanah menjadi komoditi dan penggunaannya begitu dinamis tidak secara ekspisit diatur dalam undang-undang.
Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)
1.            Aman, Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
2.            Tertib
         Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam hukum.
3.            Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam komunikasi.
4.            Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.
Selain itu, dalam mengelola tanah perkotaan, Hak Guna Bangunan (HGB) dianggap sebagai dasar untuk mengelola tanah perkotaan, realitanya banyak yang dialihkan menjadi hak milik. Kebijakan lokal biasanya tidak cukup kuat untuk menahan status hak ini sehingga ada kecenderungan perubahan hak guna bangunan menjadi hak milik tidak terbendung. Di satu sisi perkembangan hak milik ini dianggap sangat populis karena memberi hak yang sangat kuat pada rakyat. Namun di sisi lain, hak milik juga bisa menjadi sangat individualistis dan mengabaikan fungsi sosial tanah.

2.         Pembangunan Wilayah dengan Sistem Tata Ruang menurut UU N0 26 Tahun 2007
Penataan ruang hadir secara formal sejak tahun 1992 ketika diberlakukannya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Produk penataan ruang adalah rencana dan pelaksanaan tata ruang, serta pengendalian pelaksanaan tata ruang yang isinya meliputi penetapan kawasan lindung dan budidaya, pemanfaatan kawasan budidaya oleh sektor-sektor unggulan, pusat- pusat permukiman perkotaan dan perdesaan, sistem jaringan transportasi, sistem prasarana lainnya (non-transportasi), dan program sektor prioritas, serta program kawasan strategis.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. 
Undang-undang Penataan Ruang menetapkan tiga tingkatan rencana tata ruang yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan berdasarkan Keppres diperbaharui setiap 15 tahun, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 10 tahun, dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah diperbaharui setiap 5 tahun. Tingkatan-tingkatan tersebut berlaku pula untuk Tataguna Tanah, tetapi penyelenggaraanya berbeda yaitu dalam hal rencana tata  ruang diotonomikan, sedangkan dalam hal rencana Tataguna Tanah didekonsentrasikan.
Visi Undang-Undang No. 26 tentang Penataan Ruang adalah terwujudnya ruang nusantara yang mengandung unsur-unsur penting dalam menunjang kehidupan masyarakat, sebagai berikut:
  1. Keamanan: masyarakat terlindungi dari berbagai ancaman dalam menjalankan aktivitasnya;
  2. Kenyamanan: kesempatan luas bagi masyarakat untuk dapat menjalankan fungsi dan mengartikulasi nilai-nilai sosial budayanya dalam suasana tenang dan damai;
  3. Produktivitas: proses dan distribusinya dapat berlangsung efisien serta mampu menghasilkan nilai tambah ekonomis bagi kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan daya saing;
  4. Berkelanjutan: kualitas lingkungan dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat saat ini dan generasi mendatang.
Untuk mendukung visi di atas, maka setiap wilayah harus selalu memperhatikan aspek sumber daya alam dan lingkungan hidup, seperti ditetapkan pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 pasal 3 yaitu bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dengan terwujudnya:
  • keharmonisan antara lingkungan alami dan buatan;
  • keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan    sumber daya manusia; dan
  • perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. 
Selain itu, juga terjadi berbagai kendala dalam rangka pemanfaatan ruang yaitu seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah. Kebutuhan mendesak akan ruang, baik yang disebabkan oleh pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini terkait erat dengan rencana tata ruang yang tidak sesuai, dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam jangka menengah maupun panjang maupun tidak adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah yang baru dibentuk sebagai akibat pemekaran daerah. Sebagai dampaknya, bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi yang dapat mengganggu lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya merugikan bagi masyarakat.

PERBEDAAN:
  • cakupan pertimbangan fisik pemanfaatan tanah, penataan ruang lebih luas dari pada penatagunaan tanah, dan hal ini sesuai ketetapan undang-undang penataan ruang yang menyatakan bahwa penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan semacamnya merupakan subsistem dari penataan ruang
  • dalam hal pemanfaatan fisik tanah, pada penataan ruang lebih menekankan pertimbangan aspek-aspek Poleksosbudhankamnas, namun berbeda halnya pada penatagunaan tanah yang lebih menekankan aspek-aspek legalitas dan kepemilikan hak atas tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Perwira , Indra. Implikasi Ketentuan Sanksi Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta. April 2008.
Prasety, Hadi. Implikasi dan Implementasi UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang di Provinsi Jawa Timur. Jakarta. April 2008.

Sufiarma, Andi. UUPA SEBAGAI INDUK LANDREFORM. http://fiaji.blogspot.com/2007/09/uupa-sebagai-induk-landreform-by.html. Gorontalo. 2007.




0 komentar:

Posting Komentar